ELOQUENT : PERSONALITAS DALAM MAJALAH MUSIKMengelola sebuah majalah musik, memang tak semudah sekadar menerbitkannya. Ada banyak hitungan yang perlu dicermati. Saya pernah dipercaya buat memenej satu majalah yang isinya dominan musik. Dan ini cerita saya.
JUJURNYA, pengetahuan musik saya tak banyak. Meski punya satu dua jenis musik favorit, hafal sejumlah lagu, dan memiliki beberapa band kesukaan -- tapi bukan pencinta mati mereka -- bukan berarti lantas saya berhak menyandang predikat penggila musik. Saya cuma penikmat musik. Karena saya belum kuasa mengenyahkan musik dari bagian hidup saya. Rata-rata, dalam sehari, saya mendengar musik lebih dari 12 jam. Di rumah, di mobil, di kantor. Dan begitulah musik menguasai waktu-waktu saya.
Dan ketika diminta buat jadi komandan sebuah majalah yang mengusung musik sebagai content utamanya, saya agak tergagap. Tau apa saya soal musik? Saya cuma paham sedikit soal manajerial sebuah penerbitan media massa. Khususnya, bertema hiburan. Sisanya, paling secuil network yang pernah saya rintis di pekerjaan saya sebelumnya. Tapi karena punya tekad buat mengalahkan ketakutan-ketakutan dalam diri saya, juga demi mengembangkan sayap, dan enggan melewatkan tawaran bagus, kesempatan itu saya ambil juga.
Sebagai pemimpin redaksi baru -- saat itu, majalah ber-tagline musik and lifestyle itu sudah berjalan enam edisi -- saya punya beban cukup berat. Membenahi sistem kerja, memperbaiki kinerja karyawan, dan yang paling utama: meng-up grade kemampuan manajerial saya. Ini bukan barang baru, tapi tetap ada banyak hal yang mesti dikoreksi. Plus, kebiasaan dan gaya menulis saya, yang sepertinya sempat terkubur beberapa waktu, sebelum beroleh pekerjaan ini.
Oya, selain satu-dua-tiga pe-er di atas, saya juga masih punya tugas membangun tim yang terdiri dari sejumlah karyawan lama, dan beberapa staf baru. Ini bukan perkara enteng. Untungnya, sebagian besar dari mereka sudah saya kenal, meski belum terlalu akrab. Dan bos saya waktu itu, kebetulan tokoh yang tak asing lagi di dunia penerbitan. Dan itu membuat staf-staf saya cukup respek padanya.
Awalnya, sudah bisa diprediksi. Saya terbata-bata mengerjakan tugas itu. Masa adaptasi harus dilewati dengan beberapa hambatan. Pasalnya, etos kerja wong lawas dan orang baru agak berbeda. Belum lagi deadline yang kian mencekik leher. Lucky me, semua punya keinginan yang relatif sama: memperbaiki mutu kerja demi kemajuan bersama.
Perlahan, satu demi satu bisa direvisi. Jadwal terbit, terutama, yang jadi konsentrasi pertama pembenahan. Karena nafas majalah, ada pada konsistensi jadwal terbitnya. Selain dari iklan dan sirkulasi, tentunya. Kalau terlambat, semua bisa berantakan. Dan jadwal terbit, bergantung sekali pada jadwal produksi, dan jadwal produksi, amat bersandar pada deadline tulisan. Kesadaran ini yang mesti dibangun bersama. Bahwa pekerjaan ban berjalan ini, amat menggantungkan nasib pada semua roda yang berputar. Jika ada satu yang macet, maka otomatis pekerjaan bakal terganggu. Dan bisa berakibat fatal: pantat kita ditendang dari perusahaan.
Sepertinya, Dewi Fortuna seakan tak mau pergi dari sisi saya. Dibantu banyak tangan, saya mulai mem-power up beberapa rubrik. Ini seperti menggosok intan. Dan bukan cuma intannya yang digosok. Penambangnya juga, ha-ha-ha. Tapi dari sejumput pengalaman yang ada di CV saya, ada poin-poin tertentu yang setahu saya mesti diasah dengan baik. Personality, misalnya. Saya percaya, tulisan atau reportase yang baik juga mesti meninggalkan sentuhan penulisnya. Ada sebentuk kepribadian penulis yang masuk ke dalam tulisannya. Anda tahu maksud saya? Begini, jika pernah mengintip sedikit majalah yang saya maksud, dan tahu sederet penulisnya, niscaya Anda paham maksud saya. Dan pertanyaan-pertanyaan mengapa musiknya si anu sekali, kenapa filmnya terlalu si itu, dan lifestyle-nya amat si dia. All I wanna do is making the magazine become "Gue Banget!".
Pendapat ini, saya percaya, bakal memancing banyak argumen. Yang saya mau, tulisan itu hidup, karena personality penulisnya juga hidup. Tidak diam, mati, kaku, dan membisu. Karena kepribadian penulisnya keburu dibunuh kebijakan medianya, demi menjaga konsistensi penulisan. Mereka membuat standar tulisan, yang membikin karakter penulis, tak bisa keluar. Menerapkan proses editing yang berlapis-lapis. Dan mengabaikan gaya penulisan masing-masing penulisnya.
Oke, ini bukan kekesalan pribadi. Kita lepaskan dulu yang itu. Mengembangkan personality penulis, dan membiarkannya masuk ke dalam tulisan, tentu juga bukan pekerjaan tanpa resiko. Senior Editor saya mengingatkan, jika saya kehilangan para penulis, maka kami punya resiko runtuhnya kepribadian rubrik. Tapi saya bilang, memang itu beban yang mesti ditanggung. Karena sebagai majalah dengan segmen yang spesifik seperti ini, komunitas adalah target market yang mesti disasar. Dan buat menggaet komunitas, perlu personifikasi yang jelas. Dan itu bisa didapat salah satunya dengan mengembangkan personalitas rubrik, juga penulisnya.
Tambahan lagi dengan chemistry yang mesti terjalin dari untaian rubrik yang dimanifestasikan di flow halaman. He-he-he, maaf kalo ini jadi terdengar teknis sekali. Tapi menurut saya, menyusun halaman, adalah sebuah seni. Bagaimana mengatur alur psikis agar perhatian pembaca tetap terjaga dari cover hingga halaman terakhir. Meski paham, menurut psikologi gestalt, keseluruhan adalah bukan penjumlahan bagian per bagian, saya masih keukeuh mempertahankan character building tiap rubrik, begitu juga penulisnya, demi mencapai tujuan tertinggi: mengubah lifestyle menjadi attitude. Bah, saya jadi terdengar seperti pengkhotbah sekarang.
Baiklah, kita kembali ke personalitas. Agak riskan memang. Dan waktu juga yang membuktikan. Ternyata resep saya menjaga karakter penulisan itu berjalan seperti yang diinginkan. Bahkan lebih dari yang diperkirakan sebelumnya. Karakter dari setiap tulisan bisa muncul dengan manis. Dan image majalah makin mengental. Kami jadi yang paling indie di antara yang mainstream, dan jadi yang paling mainstream di kalangan indie. Tapi 12 Tugas Hercules belum tuntas. Saya masih harus menjaga suasana kerja yang nyaman. Agar penulis-penulis yang saya miliki tidak ngacir ke kebun orang. Maka kebebasan yang bertanggungjawablah yang saya berlakukan. Saya percaya, semakin mereka bisa eksis di ekosistemnya, image majalah mereka pun bakal mengikuti ke mana pun mereka pergi. Walau kadang, perlu tambal sulam juga buat menjaga pos yang ditinggalkan penjaganya sementara. Well, selalu ada resiko, bukan?
Sayang, tak selamanya suasana kerja yang nyaman bisa dipertahankan. Yeah, namanya juga dinamika. Tapi saya cukup kerepotan, jika faktor ketidaknyamanan, timbul dari manajemen. Dan jika akhirnya satu demi satu asset beterbangan, begitu juga saya, tak ada lagi yang mesti disesalkan. Saya masih percaya, bahwa kepribadian itu adalah nyawa media. Sekali lagi, ini soal karakter. Dan ketika penjaganya pergi, maka karakternya bakal berganti. Dan saya, hingga detik ini, masih bisa menyampaikan salam itu. Make your own TRAX! ***
(Hagi Hagoromo)